KPK Panggil 2 Eks Dirjen Binapenta Kemnaker Terkait Kasus Suap Pengurusan TKA
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan keseriusannya dalam mengusut
dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Kali ini, KPK memanggil dua mantan pejabat tinggi, yakni eks Direktur Jenderal Pembinaan
Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Dirjen Binapenta), untuk diperiksa terkait kasus dugaan suap dalam pengurusan izin tenaga kerja asing (TKA).

Pemanggilan ini merupakan bagian dari proses penyidikan atas dugaan praktik suap yang
melibatkan pihak swasta dan sejumlah pejabat Kemnaker dalam proses perizinan TKA. KPK mencium
adanya indikasi kuat bahwa proses penerbitan izin kerja bagi TKA di Indonesia tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel, melainkan sarat dengan praktik suap.
Pemeriksaan Fokus Pada Proses Izin TKA
Dalam pemeriksaan yang dilakukan pada pekan ini, KPK memanggil
dua nama penting yang sebelumnya menjabat posisi strategis di Kemnaker, yaitu R.A. dan S.W., yang keduanya pernah menjabat sebagai Dirjen Binapenta dalam periode berbeda.
Pemeriksaan difokuskan pada mekanisme pengajuan dan persetujuan izin TKA, serta aliran dana yang diduga tidak sah dari pihak swasta kepada oknum di Kemnaker.
Juru Bicara KPK, Ali Fikri, menjelaskan bahwa pemanggilan terhadap kedua mantan
pejabat ini bertujuan untuk mengonfirmasi sejumlah temuan penyidik terkait proses
administratif dan dugaan keterlibatan mereka dalam memuluskan penerbitan izin TKA secara tidak sah.
“KPK mendalami sejauh mana para pejabat ini mengetahui atau bahkan terlibat dalam dugaan penerimaan suap terkait pengurusan izin tenaga kerja asing,” kata Ali Fikri dalam keterangannya kepada media, Kamis (23/5).
Suap Berkedok “Biaya Percepatan”
Berdasarkan informasi yang dihimpun, praktik suap dalam pengurusan izin TKA ini dilakukan dengan modus
biaya percepatan”, di mana pihak perusahaan yang membutuhkan TKA membayar sejumlah uang agar proses perizinan dapat diselesaikan lebih cepat dari ketentuan normal.
Besaran suap bervariasi tergantung pada jumlah TKA yang diajukan serta urgensi kebutuhan tenaga kerja
tersebut di proyek-proyek strategis. Dalam beberapa kasus, nilai suap bahkan mencapai
ratusan juta rupiah. Uang tersebut kemudian diduga mengalir ke beberapa pejabat internal di Kemnaker.
Modus semacam ini bukanlah hal baru, tetapi KPK kini tengah fokus menelusuri jaringan serta aliran dana yang mengindikasikan adanya korupsi sistemik di balik pengurusan izin kerja bagi tenaga kerja asing.
Imbas terhadap Tata Kelola Perizinan
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi Kemnaker dalam hal tata kelola birokrasi.
Penggunaan jalur tidak resmi dalam proses perizinan TKA mencerminkan lemahnya pengawasan internal
dan rentannya sistem terhadap praktik koruptif. Pemerintah melalui Kemnaker sendiri sebelumnya telah berkomitmen untuk
memperbaiki sistem perizinan TKA agar lebih transparan, berbasis digital, dan minim tatap muka
namun realita di lapangan masih menunjukkan celah penyalahgunaan wewenang.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Dr. Bima Satya, menilai kasus ini bisa menjadi momentum evaluasi total terhadap sistem pengurusan TKA. “Selama ini publik melihat proses perizinan TKA sebagai hal yang tertutup dan sulit diakses. Ketika ada uang suap yang bisa mempercepat proses, maka ada yang salah dengan sistem,” ujarnya.
Baca juga:Menkum RI Pamerkan Portal Layanannya di Forum Hukum Internasional, Rusia
KPK Tegaskan Komitmen Penuntasan Kasus
KPK menyatakan akan terus mendalami kasus ini dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru.
Pemeriksaan terhadap dua eks Dirjen Binapenta ini menjadi langkah awal untuk menelusuri lebih
dalam keterlibatan pejabat tinggi dalam praktik lancung tersebut.
Lembaga antirasuah itu juga mengimbau kepada masyarakat dan perusahaan untuk tidak terlibat dalam praktik suap atau gratifikasi dalam pengurusan izin apapun, termasuk izin TKA. KPK menegaskan bahwa semua proses pelayanan publik harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum, tanpa kompromi.
“Kami berkomitmen menuntaskan kasus ini, siapa pun yang terlibat, baik pejabat aktif
maupun pensiunan, akan kami tindak sesuai hukum yang berlaku,” tutup Ali Fikri.