Pakar Hukum Paparkan Alasan Mengapa Banyak Orang Mudah Tertipu Jual-Beli Rumah Cessie
Transaksi jual-beli properti selalu menjadi topik yang menarik dan kompleks. Salah satu bentuk transaksi yang
kini mulai dikenal masyarakat luas adalah jual-beli rumah cessie, yakni peralihan hak tagih atas suatu aset, dalam
hal ini rumah, dari kreditur lama ke pihak baru. Namun di balik peluang yang ditawarkan, pakar hukum menilai bahwa transaksi
jenis ini juga menyimpan potensi besar untuk penipuan.
Dalam berbagai kasus yang muncul, tak sedikit masyarakat yang menjadi korban akibat kurangnya pemahaman tentang konsep cessie itu sendiri.
Banyak yang tergiur harga murah, namun tidak memahami aspek legal yang menyertainya.
Akibatnya, setelah pembayaran dilakukan, mereka justru terjebak dalam sengketa hukum dengan pihak ketiga, seperti bank, pemilik lama, atau debitur awal.
Pakar Hukum Paparkan Alasan Mengapa Banyak Orang Mudah Tertipu Jual-Beli Rumah Cessie
Pakar hukum properti dari Universitas Indonesia, Dr. Dimas Riyadi, menjelaskan bahwa cessie merupakan
istilah hukum yang mengacu pada pengalihan piutang dari satu pihak (kreditur lama) ke pihak lain (kreditur baru).
Dalam konteks rumah, biasanya aset tersebut sebelumnya telah diagunkan atau menjadi
jaminan dalam suatu perjanjian utang-piutang, seperti kredit pemilikan rumah (KPR).
“Cessie bukan jual-beli aset secara langsung, tapi jual-beli hak tagih atas aset tersebut. Artinya, pembeli bukan
langsung pemilik rumah, melainkan pemilik hak untuk menagih atau menyelesaikan utang
dari debitur awal,” jelas Dr. Dimas dalam sebuah seminar hukum properti di Jakarta.
Karena kompleksitasnya, masyarakat awam sering kali mengira mereka membeli rumah seperti biasa, padahal
yang sebenarnya terjadi adalah pembelian piutang atas rumah tersebut.
Minim Pemahaman Hukum, Jadi Celah Penipuan
Dr. Dimas menyoroti bahwa salah satu alasan utama masyarakat mudah tertipu adalah karena minimnya literasi hukum
terutama dalam bidang perikatan dan peralihan hak. Banyak yang hanya melihat harga rumah yang jauh di bawah pasar tanpa memeriksa status hukum properti tersebut.
“Banyak korban merasa sudah membeli rumah secara sah karena telah membayar kepada pihak ketiga
padahal yang mereka dapatkan hanya dokumen perjanjian cessie tanpa legalitas penuh atas kepemilikan rumah,” tambahnya.
Lebih parah lagi, penjual kerap memanfaatkan kelengahan ini dengan menyembunyikan
fakta penting, seperti status agunan, adanya sengketa, atau kewajiban pajak yang belum dilunasi.
Tidak Ada Akta Jual-Beli di Hadapan PPAT
Salah satu ciri khas transaksi rumah cessie adalah tidak adanya akta jual-beli (AJB) yang dibuat di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini berbeda dengan jual-beli rumah biasa, di mana proses perpindahan hak kepemilikan dicatat resmi dalam dokumen negara.
Dalam kasus rumah cessie, perpindahan hanya sebatas piutang atau tagihan, bukan objek rumah itu sendiri.
Oleh karena itu, sertifikat tanah tetap atas nama pemilik awal atau pihak bank yang menguasai agunan.
“Ini yang seringkali tidak dipahami. Mereka pikir akan langsung bisa balik nama sertifikat
padahal itu baru bisa dilakukan jika utang pokok lunas dan bank menyetujui pengalihan,” ujar Dr. Dimas.
Kurangnya Transparansi Dokumen
Selain itu, pakar hukum menilai bahwa kurangnya transparansi dokumen menjadi penyebab lain mudahnya masyarakat tertipu.
Banyak pihak penjual tidak memberikan salinan perjanjian kredit, data agunan, atau surat-surat resmi dari bank terkait.
Sebagian bahkan memberikan dokumen palsu atau mencantumkan keterangan tidak valid yang sulit diverifikasi oleh pembeli.
Dalam beberapa kasus, surat perjanjian cessie dibuat secara sepihak tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari kreditur awal, yang jelas-jelas melanggar hukum.
Imbauan untuk Lebih Teliti dan Menggunakan Bantuan Profesional
Menghadapi banyaknya kasus ini, Dr. Dimas mengimbau masyarakat untuk selalu menggunakan jasa notaris, PPAT, atau konsultan hukum dalam setiap transaksi properti, terutama yang melibatkan cessie atau status agunan.
Ia juga menekankan pentingnya memeriksa status tanah dan bangunan di kantor pertanahan
memastikan tidak ada catatan sengketa, sita jaminan, atau hak tanggungan aktif.
“Masyarakat tidak boleh tergoda oleh harga murah tanpa melakukan due diligence.
Pemeriksaan hukum adalah tahap wajib, bukan sekadar formalitas,” tegasnya.
Pemerintah dan asosiasi pengembang pun diminta untuk lebih aktif mengedukasi masyarakat tentang risiko transaksi seperti ini, termasuk memasukkan materi edukatif dalam setiap brosur atau pameran properti.
Baca juga:Israel Klaim Tewaskan Orang Terdekat Khamenei, Panglima Baru Iran
Kesimpulan
Transaksi jual-beli rumah cessie memang menawarkan peluang, terutama dari sisi harga yang lebih rendah.
Namun, tanpa pemahaman hukum yang memadai, transaksi ini bisa berubah menjadi jebakan yang merugikan pembeli.
Pakar hukum mengingatkan bahwa setiap transaksi yang melibatkan aset besar seperti rumah harus dilakukan dengan kehati-hatian tinggi dan melibatkan pihak profesional.
Jika tidak, masyarakat bisa menjadi korban penipuan dengan konsekuensi hukum dan finansial yang sangat besar.