Ancaman Tarif Trump Pemimpin BRICS Kumpul di Brasil
Para pemimpin negara anggota BRICS—yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—menggelar
pertemuan tingkat tinggi di Brasil pada minggu kedua Juli 2025. Pertemuan ini menjadi sangat penting karena terjadi di
tengah meningkatnya tekanan ekonomi global, termasuk ancaman terbaru dari mantan Presiden AS, Donald Trump
terkait penerapan tarif impor hingga 60% terhadap produk negara-negara berkembang, termasuk anggota BRICS.
Digelar di Brasilia, konferensi ini dihadiri langsung oleh Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, Presiden Tiongkok Xi Jinping
Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa.
Pertemuan ini difokuskan pada pembentukan strategi kolektif untuk menghadapi tantangan proteksionisme
global dan mendorong kerja sama ekonomi yang lebih kuat di antara anggota.
Ancaman Tarif Trump dan Dampaknya ke Negara Berkembang
Pernyataan Donald Trump baru-baru ini mengenai rencana penerapan tarif universal terhadap seluruh produk impor
yang disebut mencapai rata-rata 10–60%—langsung mengguncang pasar global.
Meski Trump saat ini belum menjabat, peluangnya dalam pemilu AS mendatang membuat pernyataannya
dianggap serius oleh banyak negara, termasuk anggota BRICS.
Tarif tinggi terhadap produk dari negara berkembang dapat mengganggu rantai pasok global, menurunkan daya saing
ekspor, serta menambah beban inflasi di negara asal. Tiongkok dan India, dua negara dengan ekspor terbesar ke AS akan terkena dampak langsung jika kebijakan ini diterapkan.
Presiden Lula da Silva menyatakan bahwa kebijakan semacam itu tidak hanya merusak perdagangan global
tetapi juga menciptakan ketidakstabilan yang dapat memicu konflik ekonomi.
BRICS Dorong Kemandirian Ekonomi Kolektif
Dalam pertemuan ini, para pemimpin BRICS menegaskan kembali komitmen mereka untuk memperkuat kerja sama ekonomi
intra-BRICS sebagai langkah strategis menghadapi tekanan eksternal. Salah satu poin utama yang dibahas adalah
penguatan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan antarnegara anggota, serta mempercepat
implementasi sistem pembayaran lintas batas yang tidak bergantung pada dolar AS.
Tiongkok dan Rusia mendorong pengembangan BRICS Pay, sistem pembayaran digital alternatif yang dapat mengurangi
ketergantungan terhadap sistem keuangan barat seperti SWIFT.
Selain itu, BRICS juga mendorong penguatan New Development Bank (NDB) sebagai alternatif sumber pembiayaan
pembangunan bagi negara-negara berkembang. Bank ini akan diarahkan untuk memberikan pinjaman tanpa syarat
politik dan bunga rendah bagi proyek infrastruktur dan energi di negara anggota.
Seruan untuk Reformasi Tata Kelola Ekonomi Global
Pertemuan BRICS kali ini juga diwarnai dengan kritik terhadap dominasi negara-negara barat dalam tata kelola ekonomi global.
Para pemimpin menyerukan reformasi pada lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia agar lebih representatif terhadap kepentingan negara berkembang.
Presiden Xi Jinping dalam pidatonya menyebut bahwa dunia membutuhkan sistem perdagangan dan keuangan yang adil
seimbang, dan inklusif. Ia menegaskan bahwa Tiongkok siap memimpin kolaborasi ekonomi global yang menolak unilateralisme dan proteksionisme.
Langkah Nyata dan Rencana Aksi BRICS
Sebagai hasil dari pertemuan tersebut, para pemimpin BRICS menyepakati sejumlah langkah konkret, antara lain:
-
Menyusun strategi tanggap krisis perdagangan akibat tarif eksternal.
-
Meningkatkan kerja sama energi bersih dan teknologi digital.
-
Menyiapkan zona perdagangan preferensial antaranggota.
-
Mempercepat transisi digital dan integrasi fintech lintas negara.
Dokumen deklarasi bersama dari pertemuan tersebut juga menegaskan dukungan BRICS terhadap multipolaritas
ekonomi dan menolak dominasi satu negara dalam menentukan arah ekonomi dunia.
Penutup: Momentum BRICS dalam Krisis Global
Ancaman tarif dari Donald Trump menjadi katalisator bagi negara-negara BRICS untuk memperkuat solidaritas ekonomi mereka.
Di tengah ketidakpastian global, pertemuan di Brasil menjadi tonggak penting untuk membangun sistem perdagangan yang lebih berimbang, serta memberikan suara kolektif negara berkembang dalam kancah internasional.
Baca juga:Pejabat AS Bocorkan Kabar Baik Negosiasi Tarif dengan India, Indonesia Kapan?