2 Terdakwa Kasus Korupsi Gerobak Kemendag Didakwa Rugikan Negara Rp 61,5 M
Kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan gerobak usaha kecil oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali menjadi sorotan publik. Proyek yang awalnya bertujuan untuk mendukung pelaku usaha mikro dan meningkatkan ekonomi rakyat kecil ini justru berujung pada skandal besar yang menjerat dua terdakwa utama ke meja hijau.
Dua terdakwa yang dimaksud, masing-masing berinisial H dan S, merupakan pejabat serta pelaksana proyek pengadaan gerobak tahun anggaran 2018–2019. Keduanya didakwa melakukan tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara hingga Rp 61,5 miliar.

Kronologi Proyek dan Dugaan Korupsi
Program pengadaan gerobak ini merupakan bagian dari inisiatif Kemendag untuk mendistribusikan ribuan gerobak kepada pelaku UMKM di berbagai wilayah Indonesia. Proyek ini melibatkan pengadaan ribuan unit gerobak lengkap dengan perlengkapan usaha, seperti kompor, alat masak, dan perlengkapan etalase.
Namun, berdasarkan hasil penyelidikan Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan adanya kejanggalan dalam proses pengadaan dan distribusi. Beberapa unit gerobak diduga tidak sesuai spesifikasi, fiktif, atau tidak pernah sampai ke penerima manfaat.
Modus operandi yang dilakukan para terdakwa antara lain:
- Mark-up harga satuan gerobak dan perlengkapannya
- Pemalsuan data penerima dan laporan distribusi
- Pemenangan rekanan tertentu dalam proses tender
- Manipulasi dokumen serah terima barang
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan terhadap kedua terdakwa. Jaksa menilai bahwa perbuatan mereka memenuhi unsur pidana sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
“Terdakwa secara bersama-sama melakukan tindakan memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain serta merugikan keuangan negara senilai Rp 61.558.000.000,” ujar jaksa dalam pembacaan dakwaan.
Selain itu, jaksa juga menegaskan bahwa proyek ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap program bantuan pemerintah.
Barang Bukti dan Hasil Audit
Dalam proses penyidikan, tim penyelidik berhasil menyita sejumlah barang bukti penting, di antaranya:
- Dokumen kontrak pengadaan gerobak
- Bukti pembayaran dan transfer dana ke sejumlah rekening
- Surat perintah kerja dan berita acara fiktif
- Bukti laporan pertanggungjawaban fiktif
- Daftar penerima fiktif
Hasil audit investigatif dari BPK menunjukkan bahwa dari total anggaran lebih dari Rp 100 miliar, sekitar 60% tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akuntabel.
Keterangan Saksi dan Fakta Persidangan
Sejumlah saksi telah dihadirkan dalam persidangan, termasuk pegawai Kemendag, vendor penyedia barang, dan penerima bantuan. Dari keterangan para saksi, terungkap adanya tekanan dari atas untuk menandatangani dokumen yang tidak sesuai fakta lapangan.
Baca juga:India Tembakkan Rudal Brahmos, Ketegangan Memuncak dengan Pakistan
Salah satu saksi dari tim pelaksana proyek mengatakan bahwa ia diperintahkan menandatangani dokumen serah terima gerobak meskipun barang belum diterima.
“Kami tahu bahwa gerobak belum datang, tapi dipaksa untuk menandatangani agar pencairan anggaran bisa dilakukan,” ungkap saksi.
Pembelaan Terdakwa
Dalam kesempatan sidang selanjutnya, kedua terdakwa membantah tuduhan yang dilayangkan jaksa. Mereka mengklaim bahwa proyek telah dijalankan sesuai prosedur dan tidak ada niat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
“Kami hanya menjalankan perintah atasan dan semua dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku. Jika ada kesalahan administratif, kami siap bertanggung jawab, tapi itu bukan korupsi,” ujar terdakwa H.
Namun jaksa tetap pada pendiriannya bahwa bukti-bukti yang ada menunjukkan indikasi kuat adanya unsur kesengajaan dan sistematis dalam pelaksanaan proyek.
Reaksi Publik dan Pemerhati Hukum
Kasus ini menuai reaksi keras dari masyarakat, terutama pelaku UMKM yang merasa dirugikan karena bantuan yang seharusnya mereka terima tidak sampai. Banyak pelaku usaha kecil di daerah mengaku tidak pernah menerima bantuan gerobak meskipun namanya tercantum dalam daftar penerima.
Organisasi antikorupsi dan pengamat hukum menilai bahwa kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal di kementerian dan minimnya transparansi dalam program bantuan pemerintah.
“Korupsi dalam proyek pemberdayaan rakyat kecil merupakan bentuk penghianatan terhadap amanat konstitusi. Ini harus diberi sanksi maksimal,” ujar seorang pengamat hukum pidana.
Potensi Hukuman dan Tuntutan Masyarakat
Jika terbukti bersalah, para terdakwa terancam pidana penjara maksimal 20 tahun serta denda hingga miliaran rupiah. Selain itu, jaksa juga berencana menuntut pengembalian kerugian negara melalui mekanisme uang pengganti.
Masyarakat juga mendesak agar penyidik menelusuri keterlibatan pejabat lain yang mungkin berperan dalam proses pengadaan ini, termasuk pihak ketiga dari perusahaan rekanan.
Langkah Perbaikan dan Reformasi Sistem
Kementerian Perdagangan mengaku prihatin atas terjadinya kasus ini dan berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengadaan barang dan jasa di internal kementerian.
Beberapa langkah yang akan dilakukan antara lain:
- Perbaikan sistem pengawasan dan pelaporan
- Pelibatan pihak independen dalam proses pengadaan
- Peningkatan kapasitas dan integritas pejabat pelaksana
- Audit menyeluruh terhadap program bantuan lainnya
Kesimpulan
Kasus korupsi proyek gerobak Kemendag menjadi bukti nyata bahwa program bantuan rakyat rentan disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Kepercayaan publik harus dipulihkan melalui penegakan hukum yang tegas dan transparan.
Persidangan kasus ini menjadi ujian bagi sistem peradilan untuk menunjukkan komitmen dalam memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, terutama dalam sektor yang menyentuh langsung kehidupan rakyat kecil. Masyarakat berharap agar keadilan ditegakkan dan pelaku diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya.