BKSAP Tekankan Diplomasi Aktif Selesaikan Masalahan Rohingya Mardani Ali Sera, menegaskan pentingnya penguatan peran diplomatik Indonesia melalui forum-forum parlemen internasional guna mendorong penyelesaian krisis kemanusiaan di Myanmar, yang selama ini menjadi faktor utama meningkatnya gelombang pengungsi Rohingya ke berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Mardani dalam kegiatan diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion (FGD) bertajuk “Penanganan Pengungsi Rohingya: Tantangan dan Jalan Keluar”, yang diselenggarakan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 5 Mei 2025.
Diskusi ini turut dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan dari organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, serta para akademisi yang selama ini aktif menyoroti isu pengungsi dan krisis regional.
Dalam keterangannya, Mardani menyampaikan bahwa upaya penyelesaian krisis Myanmar tidak dapat hanya bergantung pada inisiatif dalam negeri negara tersebut, melainkan membutuhkan peran aktif dan terkoordinasi dari negara-negara tetangga. Terlebih, dampak dari konflik yang terjadi di Myanmar telah meluas ke negara lain, baik dalam bentuk arus pengungsi, instabilitas sosial, maupun ketegangan regional.
BKSAP Tekankan Diplomasi Aktif Masalahan Rohingya
“Sebesar atau sekecil apa pun langkah yang dapat kita ambil, hal itu harus dimulai sekarang. Indonesia sebagai negara dengan pengaruh strategis di kawasan ASEAN memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk terus mengupayakan penyelesaian konflik yang telah berlangsung terlalu lama ini,” ujar Mardani.
Sebagai Ketua BKSAP, Mardani menyoroti peran penting ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) sebagai salah satu platform regional yang dapat digunakan secara efektif untuk memperkuat diplomasi parlemen, baik dalam mendesak penyelesaian damai di Myanmar maupun dalam menggalang solidaritas antarnegara anggota ASEAN dalam penanganan isu kemanusiaan Rohingya.
AIPA, menurut Mardani, seharusnya menjadi ruang konsultatif yang aktif, bukan hanya seremonial, dalam mendorong penyelesaian krisis regional. Ia menegaskan bahwa diplomasi parlemen dapat menjadi pelengkap yang strategis bagi diplomasi eksekutif yang dijalankan pemerintah negara-negara anggota ASEAN.
Lebih lanjut, ia juga menyebut bahwa keterlibatan legislatif penting untuk memastikan bahwa suara rakyat, terutama dalam isu kemanusiaan, dapat disalurkan dan dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan regional. “Kita harus mendorong AIPA agar lebih vokal dan progresif dalam isu ini,” tegasnya.
Desakan Penyusunan Instrumen Regional yang Komprehensif
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyampaikan bahwa hingga kini ASEAN belum memiliki instrumen hukum yang jelas dan mengikat terkait perlindungan pengungsi. Hal ini menjadikan negara-negara anggota cenderung bertindak secara sporadis dan tidak terkoordinasi dalam menghadapi arus pengungsi yang datang dari wilayah konflik seperti Rakhine State di Myanmar.
“ASEAN memang dikenal sebagai kawasan yang relatif stabil secara politik. Namun ketika terjadi krisis kemanusiaan seperti ini, kita tidak memiliki perangkat yang siap digunakan untuk merespons secara cepat dan terpadu,” ujar Wirya.
Ia menekankan perlunya pemanfaatan instrumen internasional yang telah ada, seperti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), dalam memperkuat mekanisme pencarian dan penyelamatan (search and rescue) bagi pengungsi yang terdampar di laut, khususnya mereka yang tiba dengan perahu dalam kondisi sangat memprihatinkan.
Menurut Wirya, ASEAN harus mulai mempertimbangkan pembentukan sistem regional yang dapat menjamin perlindungan dasar bagi para pengungsi, sekaligus membagi tanggung jawab antarnegara anggota secara adil dan proporsional.
Mendesak Pembentukan Undang-Undang Nasional Penanganan Pengungsi
Dalam diskusi tersebut, perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) SUAKA, Angga Reynaldi, juga menyoroti lemahnya kerangka hukum nasional Indonesia dalam menangani isu pengungsi. Ia menilai bahwa selama ini kebijakan pemerintah terhadap pengungsi, terutama dari etnis Rohingya, cenderung bersifat situasional dan tidak memiliki dasar hukum yang kokoh.
“Kita membutuhkan satu regulasi nasional dalam bentuk Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang penanganan pengungsi. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap upaya yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah, berjalan selaras dan tidak tumpang tindih,” ungkap Angga.
Ia menyambut baik inisiatif sejumlah pemerintah daerah yang telah menunjukkan kepedulian terhadap isu ini. Namun demikian, menurutnya, tanpa kerangka hukum nasional yang kuat, upaya-upaya tersebut tetap berisiko menjadi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Penutup: Kolaborasi Multisektor sebagai Kunci Solusi
Kegiatan FGD yang diselenggarakan BKSAP ini menjadi refleksi penting akan perlunya pendekatan multidimensi dan lintas sektor dalam merespons krisis pengungsi Rohingya dan konflik berkepanjangan di Myanmar. Keterlibatan parlemen, pemerintah, masyarakat sipil, serta komunitas internasional diperlukan guna menciptakan kebijakan yang adil, humanis, dan berkelanjutan.
Mardani menegaskan bahwa DPR RI melalui BKSAP akan terus mendorong terwujudnya langkah-langkah konkret, baik melalui diplomasi regional maupun pembentukan kebijakan nasional, demi menjamin perlindungan yang layak bagi pengungsi dan mendukung penyelesaian damai di Myanmar.
“Ini bukan hanya soal kebijakan luar negeri. Ini juga soal nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab moral kita sebagai bangsa,” tutupnya.
Baca Juga : Soal Keracunan MBG Cianjur, Kepala MBG: Setengah Foodtray Berbahan Plastik